BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Di era globalisasi ini, sudah menjadi hal yang tidak asing
ketika kita mendengar kata “pengangguran”, sering kita mendengar keluhan dari
orang yang tidak mendapat atau mempunyai pekerjaan. Perekonomian Indonesia sejak krisis ekonomi
pada pertengahan 1997 membuat kondisi
ketenagakerjaan Indonesia ikut memburuk. Sejak itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga
tidak pernah mencapai 7-8 persen.
Padahal, masalah pengangguran erat kaitannya dengan pertumbuhan
ekonomi. Jika pertumbuhan ekonomi ada,
otomatis penyerapan tenaga kerja juga ada.
Setiap pertumbuhan ekonomi satu persen, tenaga kerja yang terserap
bisa mencapai 400 ribu orang. Jika
pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 3-4
persen, tentunya hanya akan menyerap 1,6 juta tenaga kerja, sementara
pencari kerja mencapai rata-rata 2,5
juta pertahun. Sehingga, setiap tahun pasti ada sisa pencari kerja yang tidak memperoleh pekerjaan dan menimbulkan jumlah pengangguran
di Indonesia bertambah.
Sehingga dibutuhkan suatu kreatifitas dari masyarakat saat
ini agar terhindar dari pengangguran, hal yang pasti bisa dilakukan adalah
berwirausaha. Jika dahulu kewirausahaan
merupakan bakat bawaan sejak lahir
dan diasah melalui pengalaman langsung di lapangan, maka sekarang ini paradigma
tersebut telah bergeser karena masyarakat yang tidak berbakat dan semua orang
bisa melakukannya. Kewirausahaan telah menjadi suatu disiplin ilmu yang mempelajari tentang nilai,
kemampuan (ability) dan perilaku seseorang dalam menghadapi tantangan hidup
untuk memperoleh peluang dengan berbagai resiko yang mungkin dihadapinya.
Setiap tahun jumlah pengangguran kian menumpuk. Sebenarnya
mereka termasuk kelompok usia yang konsumtif dan belum produktif. Hal itu tentu
akan menghambat pertumbuhan karena pertambahan pendapatan sebagian besar akan
habis dikonsumsi oleh orang yang masih menganggur atau belum bekerja. Jika hal
itu dibiarkan terus- menerus jumlah pengagguran semakin besar dan pada
suatu saat dapat menjadi bumerang dalam pembangunan. Hal semacam itu tentu
tidak kita inginkan.
Di dalam mengurangi jumlah pengangguran terlepas dari
kualitasnya yang rendah, minimal para pengangguran tersebut harus diberi
lapangan pekerjaan sesuai dengan masing-masing bidang. Dengan demikian, status
pengangguran yang tadinya merupakan manusia yang konsumtif, akan bergeser
menjadi manusia yang produktif. Hal itu akan mempunyai dampak yang sangat
positif bagi pemba ngunan yaitu:
1. Akan mengurangi beban ketergantungan
(dependency ratio);
2. Meningkatkan pendapatan atau kesejah teraan
masyarakat.
Penganggur tersebut pada umumnya bukan tidak mau bekerja,
melainkan sulit mendapatkan pekerjaan.[1]
Mengingat pentingnya masalah tersebut kiranya perlu diadakan
cara penanggulangan terutama dalam mengurangi jumlah pengangguran. Pemecahan
masalah ini cukup mudah yaitu asal diberikan pekerjaan selesailah masalah
pengangguran tersebut. Akan tetapi di dalam pelaksanaannya tidaklah semudah
itu. Untuk membuka lapangan pekerjaan baru memerlukan dana yang cukup besar,
selain dana perlu diberikan pelatihan kewirausahaan pada pengangguran agar para
pengangguran mempunyai modal keterampilan dalam dunia kerja yang akan digeluti.
Sebagai suatu disiplin ilmu, maka ilmu kewirausahaan dapat
dipelajari dan diajarkan, sehingga setiap individu memiliki peluang untuk
tampil sebagai seorang wirausahawan (entrepreneur). Bahkan untuk menjadi
wirausahawan sukses, memiliki bakat saja tidak cukup, tetapi juga harus
memiliki pengetahuan segala aspek usaha yang akan ditekuninya. Tugas dari
wirausaha sangat banyak, antara lain tugas mengambil keputusan, kepemimpinan
teknis, dan kepemimpinan, oleh karena itu dibutuhkan sarana dan prasarana,
salah satunya pendidikan.[2]
BAB II
KAJIAN TEORITIS
A. Pengertian Kewirausahaan.
Secara sederhana arti wirausahawan
(Entepreneur) adalah oarng yang berjiwa berani mengambil resiko untuk membuka
usaha dalam berbagai kesempatan. Berjiwa berani mengambil resiko artinya
bermental mandiri dan berani memulai usaha, tanpa diliputi rasa takut atau
cemas sekalipun dalam kondisi tidak pasti. Seorang wirausahawan dalam fikirannya
selalu berusaha mencari, memanfaatkan, serta menciptakan peluang usaha yang
dapat memberi keuntungan. Resiko kerugian merupakn hal biasa karena mereka
memegang prinsip bahwa faktor kerugian pasti ada. bahkan, semakin besar resiko
kerugian yang bakal dihadapi, semakin besar pula keuntungan yang dapat diraih.
Peter F. Drucker mengatakan bahwa kewirausahaan merupak kemampuan
dalam menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda. Pengertian
ini mengandung maksud bahwa seseorang wirausahawan adalah orang yang memiliki
kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru, berbeda dari yang lain. Atau
mampu menciptakan sesuatu yang berbeda dengan yang sudah ada sebelumnya.
Sementara itu, Zimmerer mengartikan kewirausahaan sebagai suatu
proses penerapan kreativitas dan inovasi dalam memecahkan persoalan dan
menemukan peluang untuk memperbaiki kehidupan (Usaha).[3] Pendapat
ini tidak jauh berbeda dengan pendapat di atas. Artinya, untuk menciptakan
sesuatu diperlukan suatu kreativitas dan jiwa inovator yang tinggi. Seseorang
yang memiliki kreativitas dan jiwa inovator tentu berpikir untuk mencari atau
menciptakan peluang yang baru agar lebih baik dari sebelumnya.
Dari
kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kewirausahaan merupakan suatu
kemampuan dalam hal menciptakan kegiatan usaha. Kemampuan menciptakan
memerlukan adanya kreativitas dan inovasi yang terus-menerus untuk menemukan
sesuatu yang berbeda dari yang sudah sebelumnya.
B. Karakteristik Wirausaha
Dalam
berwirausaha, bukan hanya materi yang dibutuhkan untuk membangun usaha. Namun
lebih dari itu, diperlukan karakter khusus agar menjadi seorang wirausahawan
sejati, yang dapat berhasil. Berhasil disini adalah memperoleh kapuasan jiwa
bahkan kepuasan karena dapat menciptakan lapangan pekerjaan. Maka dari itu
diperlukan beberapa karakter untuk menunjang sebuah wirausaha:[4]
1.
Motif
Berprestasi Tinggi
2.
Selalu
Perspektif (sudut pandang kedepan)
3.
Memiliki
Kreatifitas Tinggi
4.
Selalu Komitmen
dalam Pekerjaan, Memiliki Etos Kerja dan Tanggung Jawab
5. Mandiri atau Tidak Ketergantungan
6.
Berani
Mengambil Resiko
7.
Selalu Mencari
Peluang
8.
Memiliki Jiwa
Kepemimpinan
9. Memiliki Kemampuan Manajerial
C. Arti
Penting Wirausaha Dalam Pembangunan.
Wirausaha adalah seorang yang mandiri, yaitu orang yang
memilki perusahaan sebagai sumber penghasilannya. Dengan perkataan lain ia
tidak menggantungkan diri untuk penghasilannya kepada orang lain. Untuk
mendirikan perusahaannya ia menghimpun sumber-sumber atau faktor produksi dan
menyusun organisasi perusahaan. Karena tindakan-tindakan itu mempunyai berbagai
dampak. Pertama, kepada dirinya
sendiri, yaitu menciptakan lapangan kerja bagi diri dan penghasilan. Kedua, kepada masyarakat dan pemerintah,
yaitu menciptakan lapangan kerja bagi tenaga kerja yang lain serta penghasilan,
mengerjakan sumber-sumber bahan baku yang belum digunakan sehingga menjadi
bermanfaat bagi masyarakat, menciptakaan teknologi sehingga menambah akumulasi
untuk untuk teknologi yang sudah ada dalam masyarakat, mendorong investasi di
bidang-bidang lain, memperluas dasar pajak bagi pemerintah dan meningkatkan
citra bagi suatu bangsa, sehingga secara keseluruhan mendorong pertumbuhan
ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
BAB III
DESKRIPSI KASUS
Biasanya kecendrungan Negara-negara
berkembang adalah ditandai dengan masyarakat yang memiliki pendapatan perkapita
lebih rendah dibandingkan dengan Negara maju dan biasanya memiliki populasi
penduduk yang sangat besar.[5]
Sedangkan Crouch mengkarakteristikkan kolndisi Negara-negara baru (Negara
berkembang yang merdeka pasca perang dunia ke II) sangat berbeda dengan Negara
maju. Menurutnya, Negara baru belum memiliki kondisi ekonomi dan sosial yang
makmur, kebanyakan penduduknya miskin, perekonomian menitik beratkan pada
sektor pertanian dengan mata pencaharian sebagai petani, pemikiran-pemikiran
modern belum sepenuhnya masuk ke Negara tersebut.[6]
Melihat kedua penjelasan dari kondisi Negara beru diatas, maka Indonesia
merupakan salah satu Negara yang ada didalamnya. Pendapatan masyarakat yang
rendah dan tingkat populasi penduduk yang tinggi menjadi suatau permasalahan
yang harus diatasi oleh pemerintah Negara-negara berkembang dalam upaya
mensejahterakan masyarakatnya.
Maka bisa dilihat,
pertumbuhan dinegara berkembang memiliki potensi untuk menumbuhkan
perekonomian, hal ini dikarenakan belum sepenuhnya Negara-negara berkembang
memanfaatkan sumber-sumber yang mereka miliki terutama sumber teknologi dan
SDM, sedangkan pada Negara maju pertumbuhan ekonomi menjadi terbatas karena
sumber-sumber yang ada telah semaksimal mungkin digunakannya.[7]
Untuk itu, masih ada peluang untuk Negara berkembang seperti Indonesia untuk
mencapai kesejahteraan seperti halnya Negara maju, tentu dengan upaya
memaksimalkan sumber-sumber yang ada, kemudian merumuskannya dalam susunan
strategi pembangunan nasional yang ideal terhadap karakter masyarakat.
Namun dalam penyusunan
strategi pembangunan di Negara-negara berkembang tidak semuanya berjalan mulus.
Banyak factor yang terlibat dalam proses penyusunan strategi pembangunan
nasional, hal ini dikarenakan cakupannya yang sangat luas dan makro sehingga
pertimbangan-pertimbangan stakeholder baik dalam negri maupun adanya campur
tangan pihak lain diluar pemerintahan turut mempengaruhi arah kebijakan
pembangunan nasional. Hal ini mengakibatkan orientasi dalam mengimplementasikan
strategi pembangunan nasional salah sasaran, bukan tujuannya untuk memberikan
keadilan, mensejahterakan dan memakmurkan rakyat malah justru kebijakan
pembangunan menjerumuskan rakyat pada kemiskinan structural.
Maka orientasi dalam
strategi pembangunan nasional bersifat dinamis karna dipengaruhi oleh
lingkungan pembentuk kebijakan tersebut.
A. Perubahan
masyarakat dan pendekatan pembangunan
Istilah pembangunan pertama kali diperkenalkan oleh Truman
(presiden Amerika) dengan dikeluarkannya kebijakan pembangunan. Dalam
perkembangannya akhirnya menjadi doktrin atas reaksi dalam upaya membendung ide
sosialisme-komunisme soviet di Negara berkembang. Runtuhnya soviet pada perang
dingin memberikan gambaran bahwa Negara Eropa Barat dan Amerika memiliki
perekonomian yang mapan dan stabil disamping itu membuktikan bahwa system
demokrasilah yang unggul. Hal ini menjadikan doktrin pembangunan atau biasa
dikenal dengan pembangunan dengan pendekatan modernisasi.
Konsep utama pendekatan pembangunan modernisasi terletak
pada terbentuknya relasi antara Negara pusat (Negara maju) dengan negara
pinggiran (Negara berkembang). Menurut Lenner, proses modernisasi yang terjadi di
seluruh Negara didunia memiliki cirri pokok yang sama, hanya kebetulan
modernisasi terlebih dahulu terjadi di Negara barat.[8] Lenner menyarankan agar masyarakat
di Negara-negara Asia, Afrika, Timur Tengan dan Amerika Latin memasuki proses
pembangunan modernisasi, sehingga pada nantinya terjadi perubahan masyarakat
dalam banyak hal mirip dengan masyarakat Amerika Serikat dan Eropa Barat. Hal
ini merupakan strategi memecahkan masalah keterbelakangan Negara pinggiran.
Pendekatan modernisasi dalam pembangunan masyarakat
menjadi popular pada decade 1950-an. Kepopuleran ini dibuktikan dengan
keberhasilan doktrin ini meraih simpati 62% Negara dunia memilih system
pemerintahan demokrasi pasca perang dingin. Kemudian atas pilihan ini, menjadi
pertanyaan. Apakah pembangunan system demokrasi akan berkembang pada
Negara-negara yang memilihnya (terutama Negara berkembang)?. Pendapat Seymour
M. Lipset ada prakondisi yang dapat menimbulkan transisi demokrasi. Menurutnya
semakin kaya suatu Negara, semakin besar peluang Negara tersebut melangsungkan
demokrasi.[9]
Tentu prakondisi yang dikemukakan Lipset mengenai
pembangunan system demokrasi kurang
sesuai dengan kondisi di Negara-negara berkembang. Sebagaimana yang dikemukakan
Harold Crouch mengenai kondisi di Negara-negara baru yang menurutnya, ada
karakteristik yang berbeda dengan Negara maju. Menurutnya, Negara baru belum
memiliki kondisi ekonomi dan sosial yang makmur, kebanyakan penduduknya miskin,
perekonomian menitik beratkan pada sektor pertanian dengan mata pencaharian
sebagai petani, pemikiran-pemikiran modern belum sepenuhnya masuk ke Negara
tersebut. [10]
Tahun 1960-an lahirlah pendekatan depedensi/
pendekatan keterbelakangan sebagai reaksi atas kegagalan pembangunan yang
menyebabkan kemacetan, kemunduran, stagnasi, maupun keterbelakangan pembangunan
di Negara-negara amerika latin. Secara keras pendekatan ini menentang ide dan
konsep pembangunan modernisasi. Secara general konsep pemikiran pendekatan
ketergantungan melihat konsep yang ditawarkan model modernisasi yang justru
menghambat pembangunan Negara berkembang yang penyebab timbulnya kesenjangan
dan keterbelakangan.[11]
Adanya kesenjangan dan keterbelakangan dikarnakan adanya relasi antara Negara
maju dengan Negara berkembang. Relasi yang bertemu dalam mekanisme pasar
terbuka justru menjadikan Negara maju dan perusahaan multi nasional akan
mendominasi pasar. Dampaknya terjadi eksploitasi pada Negara-negara berkembang.[12]
Wallestein, salah satu pemikir pendekatan depedensi
dengan konsepnya mengenai system dunia modern (modern world system). Ia
menjelaskan hubungan antara Negara-negara utara yang maju dengan Negara selatan
yang sedang berkembang. Wallerstein menggambarkan dengan posisi center – semi
periphery – periphery. Negara center merujuk pada Negara-negara industry maju
dan memiliki capital yang besar. Negara semi periphery adalah Negara yang
paling banyak memainkan peran perantara perdagangan sedangkan periphery adalah
Negara miskin sumber eksploitasi. Mengenai konsepnya, Wallerstein menggambarkan
Negara-negara center mendominasi Negara periphery melalui mekanisme pasar yang
timpang, Negara center melakukan ekstraksi bahan dasar dari Negara periphery.
Pada sisi lainnya Negara periphery difungsikan sebagai pasar untuk membuang
kelebihan produksi. Gambaran ketiga actor dalam konsepnya akan bertemu
mekanisme pasar global.[13]
B. Pembanngunan nasional periode
pemerintahan orde baru, permasalahan social masyarakat pada pemerintahan pasca
orde baru dan peran wirausaha.
Di Indonesia proses industrial berlangsung dalam
pemerintahan otoriter orde baru. Naiknya soeharto kepanggung politik pada
decade 1960-an mewarnai perubahan orientasi politik luar negri Indonesia. Jika
dimasa soekarno, Indonesia lebih banyak menjalin hubungan dengan Negara
penganut paham sosialis terutama Soviet dan R.R.C. dimana pada pemerintahan
soeharto Indonesia lebih berpaling ke Negara barat seperti amerika dan jepang
dikarnakan ada kepentingan pemerintahan untuk memulihkan perekonomian nasional.
Salah satu cara pemerintah adalah dengan mengundang kembali para investor
asing, terutama investor yang dulu pernah membangun industrinya di Indonesia. Mengapa
para investor asing pergi dari Indonesia? Dimasa pemerintah soekarno tahun
1958, mereka dipaksa untuk menyerahkan usahanya kepada pemerintah Indonesia
dimana pada saat itu pemerintahan soekarno mengeluarkan kebijakan untuk
memprivatisasi perusahaan-perusahaan asing di Indonesia.[14]
Agar investor asing mau kembali soeharto mengutus Adam Malik
untuk mengundang kembali investor asing dan merundingkan pencairan hutang luar
negri. Akhirnya konsolidasi politik dilakukan dengan cara membasmi sisa-sisa
kekuatan komunis. Kemudian ilmuan politik bernama robinson memberikan gambaran
mengenai alasan mengapa pemerintahan orde baru memilih strategi penanaman modal
asing sebagai strategi pembangunan saat itu dan mengapa pemerintah mendominasi
kehidupan masyarakat.[15]
Menurutnya, pertama
dikarenakan lemahnya kelompok-kelompok social ekonomi dalam berinteraksi dengan
Negara. Kedua, gagalnya
industrialisasi substitusi import dimana pengusaha yang diproteksi pemerintah
dengan program benteng tidak menghasilkan pengusaha yang mandiri. Ketiga, peran Negara dominan sebagai actor penggerak
pembangunan. Karena gagalnya penguatan kelompok-kelompok masyarakat, pemerintah
juga ambil bagian dalam kehidupan ekonomi melalui Bhmn. Keempat, menguatnya pandangan yang menganggap bahwa pembangunan
ekonomi hanya efektif bila dijalankan oleh Negara yang stabil, kuat dan
sentralistis-otoritatif. Alas an lainnya dikemukakan oleh Karl D. Jakson dengan
konsepnya dalam menggambarkan pemerintahan soeharto. Ia mendefinisikannya
sebagai sebuah system politik dimana kekuasaan dan pembuatan keputusan berada
di tangan sejumlah elit birokrasi yang langsung berada dibawah perlindungan
kelompok militer. Kemudian ia menggambarkan, mengapa kebijakan pembangunan
pemerinyahan orde baru lebih condong pada ekonomi liberal. Alasannya karena soeharto dikelilingi oleh
para teknokrat berpendidikan barat yang sangat berperan dalam penentuan
strategi industrialisasi.
Konsep pembangunan nasional di masa pemerintahan orde baru
dengan konsep program pembangunan jangka panjang (PJP) disusun setiap lima
tahun dengan garis besar haluan Negara (GBHN) sebagai landasannya. Kalau di
perhatikan konsep pembangunan secara lebih terperinci maka akan sama
sepertiyang ditawarkan oleh rostow. Menurut data-data yang beredar disaat itu,
orde baru telah berhasil mengangkat angka pertumbuhan ekonomi yang meyakinkan.
Namun pada sisi lain, keterlibatan masyarakat baik dalam proses maupun dalam
pemanfaatan hasil belum mencapai tingkat yang merata (adil). Sebaliknya, proses
dan hasil pembangunan masih sangat terkonsentrasi pada sekelompok kecil
masyarakat, terutama para pemilik modal pribumi yang terproteksi oleh
pemerintah, maka akibatnya terjadi kesenjangan social ditengah-tengah
masyarakat, akibat kebijakan pembangunan yang kurang berorientasi pada
pembangunan kerakyatan yang berkeadilan.[16]
Kondisi pasca jatuhnya orba, Indonesia memasuki masa
transisi demokrasi dengan berlandaskan pada semangat mereformasi. Menuntut
bekerja kearah system yang lebih demokrasi. Hal ini membuka membuka peluang
besar kearah partisipasi masyarakat dalam mengontrol arah gerak pembangunan
yang dilakukan pemerintah. Pada sisi lain, sisitem demokrais memberikan
kesempatan besar dibukanya liberalisasi di segala bbidang. Maka konsentrasi
kekuasaan tidak lagi berada pada sebagian kecil masyarakat dikarenakan
kekuasaan menjadi tersebar. Sebagai contohnya kekuasaan pemerintahan pusat dengan
pemerintahan daerah tidak sebesar seperti halnya pada pemerintahan orde baru.
Pemerintahan daerah memiliki kekuasaan otonom untuk menentukan arah pembangunan
daerahnya, persebaran kekuasaan itu diharapkan daerah-daerah akan lebih
mengoptimalkan sumber-sumber yang ada di daerahnya.
Contoh diatas menggambarkan bagaimana terjadinya perubahan
pada system masyarakat. Dilihat dari pola berfikir, Masyarakat telah memilih
pola berfikir masyarakat modern, paling tidak sudah memenuhi beberapa criteria
seperti yang dikemukakan Lipset tentang kondisi berkembangnya demokrasi.
Begitupun praktek liberalisasi ekonomi di Indonesia yang telah ada sejak awal
masa pemerintahan orde baru, hal ini memberikan peluang pembelajaran sejak dini
pada masyarakat untuk berinteraksi ke tingkat global, karna pemberlakuan free trade diwilayah Asia dan Pasifik
saat ini.
Keadaan tersebut mau tidak mau seorang individu harus
menggali potensi dirinya karna setiap individu akan dipandang sama seperti
individu lainnya, dengan begitu terciptalah iklim persaingan.mekanisme
masyarakat inilah yang diharapkan untuk terciptanya pembangunan kesejahteraan.
Seperti yang disinggug sebelumnya bahwa model pembangunan yang hanya menitik
beratkan pada pembangunan ekonomi yang lebih memacu pada penanaman modal asing
ke Indonesia seperti halnya yang dilakukan pada masa pemerintahan orde baru
tidak menciptakan kesejahteraan masyarakat yang merata, hanya sebagian kecil
saja masyarakat yang menikmatinya sehingga menciptakan suatu kondisi
ketimpangan social di tengah masyarakat.
Maka model pembangunan yang ideal harus disesuaikan dengan
model yang berkembang di Negara-negara maju. Karna masyarakat Indonesia
menerima system demokrasi sebagai landasan menata kehidupan bernegara dan
bermasyarakat yang menguat sejak jatuhnya pemerintahan orde baru. [17]
BAB IV
ANALISIS
A.
Wirausaha sebagai agen pembangunan
Actor yang berperan sebagai agen
pembangunan adalah wirausaha atau biasa disebut entrepreneur. Berbagai
literature pun banyak yang menulis peranan wirausaha dalam pembangunan suatu
bangsa, misalnya di Amerika Serikat, para enterprenuer disebut pula sebagai “captain of industry” atau “business tycoon” atau “wealthy and powerfull businessmen or industrialists”
mereka antara lain seperti Andrew Carnegiie (steel), James B Duke
(tobacco), John D. Rockefeller (oil) danlain sbagainya.
Sedangkan literature Indonesia yang
berpendapat sama ialah Wirakusumo. Penulisannya mengenai peran penting
wirausaha dalam menentukan perkembangan ekonomi suatu Negara. Menurutnya
wirausaha adalah “the backbone of
economy” syaraf pusat perekonomian atau pengendali perekonomian suatu
bangsa.[18]
Tidak hanya Wirakusumo yang menitik
beratkan akan pentingnya wirausaha. Peneliti lain juga ada yang seperti
dirinya. Salah satunya adalah Alma, menurutnya , semakin maju suatu Negara maka
akan semakin dirasakan pentingnya dunia wirausaha. Pembangunan akan lebih
berhasil jika ditunjang oleh wirausahawan yang dapat membuka lapangan kerja
karna kemampuan pemerintah sangatlah terbatas. menurutnya warausahawan unggul
dalam kualitas. Kehadiran mereka membuat perekonomian Negara akan semakin
sejahtera dan kuat. Bilamana disimpulkan secara generalnya penulisan mengenai
peran wirausaha sebagai pencipta kesempatan kerja baru, penghasilan baru,
inovasi baru, pembayar-pembayar pajak baru dan secara keseluruhan disebut
sebagai sumber pertumbuhan ekonomi.[19]
Penjelasan diatas sekiranya dapat
memberikan gambaran betapa pentingnya peran wirausaha dalam membangun ekonomi
suatu bangsa. David McClelland pun pernah memperbandingkan jumlah wirausaha
dibeberapa Negara dengan hasil, AS tahun 2007 memiliki 11,5% wirausahawan,
kemudian Negara tetangga, singapura 7,2%, sementara Indonesia diperkirakan
hanya mencapai 400.000 orang atau hanya 0,18% dari yang seharusnya 4,4 juta
wirausahawan atau sebesar 2% dari total jumlah penduduk. Untuk itu dibutuhkan
suatu strategi pembangunan kewirausahaan untuk kedepannya.
B.
Peran pendidikan dalam mencetak
wirausahawan
Pada pembahasan
sebelumnya telah dijelaskan betapa pentingnya peran wirausaha dalam
meningkatkan perekonomian Negara dan mendorong tercapainya masyarakat yang
sejahtera secara merata. Didalam masyarakat pada umumnya memiliki tingkat
perekonomian yang berbeda-beda, baik itu di Negara berkembang dan di Negara
maju. Ini tidak lain disebabkan factor kemampuan atau kesempatan untuk
mengelola ekonomi dan juga tidak terlepas kemampuan mencari peluang yang ada
didalam masyarakat itu sendiri. Untuk mencapai peluang kesejahteraan, tidak
semua orang mampu mencapai kondisi tersebut. Hanya orang-orang tertentu saja
dimana mereka mampu mencapainya, dan orang-orang yang dimaksud adalah
orang-orang yang terpelajar dimana individu mampu mencari peluang ataupun
terobosan-terobosan baru yang ada dalam masyarakat, dan ini disebabkan karena
mereka memiliki kemampuan dan pemikiran-pemikiran maju serta mampu menyesuaikan
diri dengan masyarakat dimana mereka berada. Sementara orang-orang yang tidak
terpelajar tentu mereka kurang memiliki hal-hal tersebut, maka dari itu,
disinilah letaknya betapa peranan pendidikan itu sangat membantu orang-orang yang
ada dalam masyarakat agar bisa lebih sejahtera.
Banyak
penulis yang lebih menekankan pentingnya pendidikan. Seperti halnya Suyanto lebih
menekankan pada aspek globalisasi, pendidikan dan kondisi sumber daya manusia
di Indonesia. Menurutnya SDM yang terdidik di Indonesia masih belum mampu untuk
bersaing dalam pasar global dikarenakan belum terbentuknya karakterkat untuk
berdaya saing. Ini dikarnakan pendidikan Indonesia belum mengarahkan
pembentukan sampai pada pembentukan karakter dimana proses pendidikan formal,
non formal, dan informal tidak saling berkaitan.
Dari
pernyataan Suyanto ternyata pendidikan di Indonesia kurang mampu mencetak
wirausahawan karna arah pendidikan hanyalah untuk menghasilkan pekerja. Maka
harus merubah pola orientasi pendidikan dengan konsep pendidikan
enterprenuership. Dengan konsep ini diharapkan akan mampu menghasilkan dampak
nasional yang besar bila kita berhasil mendidik seluruh bangku sekolah dan
selanjutnya.
BAB
V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ada perbedaan antara
strategi pembangunan dimasa orde baru dan pasca orde baru. Keduanya dipengaruhi
oleh seting lingkungan yang mempengaruhi bagaimana orientasi strategi
pembangunan berlaku.
Kondisi pasca orde baru
dilandasi atas semangat untuk mereformasi system yang terbentuk pada masa orde
baru. System lebih diarahkan pada system yang lebih demokratis. Demokrasi telah
memberikan ruang bagi setiap individu berpartisipasi mengontrol berbagai
kebijakan-kebijakan pemerintah dalam merumuskan program pembangunan. Disamping
itu, demokrasi juga berkontribusi dalam membuka ruang bagi liberalisasi dalam
segala hal. Menuntut individu bisa bersaing dan berkontribusi dalam pembangunan
nasional. Untuk itu, diharapkan peranan wirausaha dalam menciptakan kesejahteraan
dan menumbuhkan ekonomi nasional.disamping itu, jumlah wirausaha pribumi yang
belum mencukupi angka yang ideal berkonsekuensi pada masalah-masalah
sosialekoomi masyarakat Indonesia.
Untuk itu dibutuhkan peranan dari wirausaha dan
kontribusi wirausaha sehingga pada nantinya diharapkan akan terbentuk kekuatan
bisnis yang dapat menopang dan membangun ekonomi nasional, menciptakan
kesejahteraan yang berkeadilan dan menumbuhkan system kearah yang lebih
demokrasi.
B.
Saran
Harus ada
program dari pemerintah atau dari kesadaran rakyat tersendiri yang dapat
meningkatkan jumlah wirausahawan yang ada di Indonesia agar makin banyak jumlah
wirausaha di Indonesia dan meningkatkan pendapatan Negara.
Dengan
banyaknya jumlah wirausaha di Indonesia, dengan otomatis jumlah pengangguran
pun berkurang dan pendapatan Negara bertambah dan rakyatpun tidak selamanya
berketergantungan terhadap pemerintah.
Apabila terdapat
kekurangan dalam pembuatan makalah ini saya meminta
maaf serta mengharapkan kritik dan sarannya guna
menjadi intropeksi diri saya kedepannya agar menjadi lebih baik lagi
DAFTAR PUSTAKA
-
Crouch, harol. Masyarakat politik dan perubahan: Negara baru, perkembangan politik
dan modernisasi. FISISP UI. JAKARTA. 1981.
-
H.W. Ardint. Pembangunan ekonomi: studi tentang sejarah pemikiran. LP3S.
Jakarta. 1991.
-
Kasmir. Kewirausahaan-Edisi Revisi. Rajawali Pers. Jakarta. 2011.
-
Madura, Jeff, Introduction To Bussines. Salemba empat, Jakarta. 2007.
-
Muhaimen, Yahya. Hubungan penguasa-pengusaha: Dimensi Politik Ekonomi Pengusaha klien di
Indonesia. Jakarta. 1995.
-
Munandar, Aris. Pembangunan nasional, keadilan social dan pemberdayaan masyarakat. Jurnal
Universitas Paramadina. Jakarta. 2002.
-
Oei,
Istijanto. Jurus-jurus sakti wirausaha:
36 Jurus Melahirkan 4.000.000 Wirausaha Baru di Indonesia. Bandung. 2004.
-
Sedane. Moore. Civil society, globalisasi dan buruh: kaum pekerja di Indonesia pasca
soeharto. 2004.
-
Sudrajad.
Kiat mengentaskan pengangguran melalui
wirausaha. Jakarta. 2000.
-
Suryana. Kewirausahaan. Salemba
Empat. Jakarta. 2009.
-
Thomson, boone. Contemporary Busines. salemba empat, jakarta. 2007
-
Winamo, Budi. Pertarungan Negara VS pasar. Media presindo. Yogyakarta. 2009.
-
http://directory.umm.ac.id/articles/menyikapi_globalisasi.pdf.
[2] Oei, Istijanto.
Jurus-jurus sakti wirausaha: 36 Jurus
Melahirkan 4.000.000 Wirausaha Baru di Indonesia. 2004. Hal. 13
[6] Crouch, harol. Masyarakat politik dan perubahan: Negara
baru, perkembangan politik dan modernisasi. 1981. Hal. 3
[10] Crouch, Harol. Masyarakat politik dan perubahan; Negara
baru, perkembangan politik & modernisasi. 1981. Hal. 3
[11] H.W. Ardint. Pembangunan ekonomi: studi tentang sejarah
pemikiran. LP3S. Jakarta. 1991. Hal. 130-151
[15] Muhaimen, Yahya. Hubungan penguasa-pengusaha: Dimensi Politik
Ekonomi Pengusaha klien di Indonesia. 1995. Hal. 22-24
[16] Munandar, Aris. Pembangunan nasional, keadilan social dan
pemberdayaan masyarakat. Jurnal Universitas Paramadina. 2002. Hal. 12
[17] Sedane. Moore. Civil society, globalisasi dan buru: kaum
pekerja di Indonesia pasca soeharto. 2004. Hal. 36-37
izin copy, boleh?
BalasHapustrima kasih sblumnya...
ikut izin copy
HapusMonggo mba
Hapusbagus sekali tulisannya, sukses selalu ya dik Al
BalasHapusIzin copy juga ya...terima kasih sebelumnya
BalasHapusIzin copy yaa.
BalasHapusTerima kasih sebelumnya.