PENDAHULUAN
Objek
dakwah (mad’u) kajiannya merupakan
hal yang tak kalah penting dari pada kajian mengenai da’i. Seperti da’I, mad’u adalah manusia. Kajian mengenai
mad’u tak cukup hanya pada klasifikasi, penggolongan atau pengelompokan seperti
yang selama ini terjadi. Dalam konteks filsafat dakwah, kajian mengenai mad’u
perlu dilihat dalam kedudukannya sebagai manusia baik sebagai individu maupun
kelompok, lalu kecendrungan-kecendrungannya baik yang bersifat intelektual,
moral (emosional) maupun spiritual.
Pemahaman
jatidiri mad’u sebagai manusia dan kecendrungan-kecendrungan dasarnya menjadi
sangat penting dalam konteks dakwahuntuk selanjutnya dapat dirumuskan
pendekatan dan metode yang tepat dan relevan. Tentu metode, teknik dakwah,
menjadi tugas ilmu dakwahdan bukan menjadi wilayah kajian filsafat dakwah untuk
merumuskannya dan mengujinya secara empiris dilapangan. Disadari keberadaan
mad’u mempengaruhi aspek-aspek lain dalam proses dakwah.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Mad’u
Mad’u
yaitu mamnusia yang menjadi saasaran dakwah, atau manusia penerima dakwah, baik
sebagai individu maupun sebagai kelompok, baik manusia yang beragama islam
maupun tidak, atau dengan kata lain, manusia secara keseluruhan. Kepada manusia
yang belum beragama islam, dakwah bertujuan untuk mengajak mereka untuk
mengikuti agama islam, sedangkan kepada orang-orang yang telah beragama islam
dakwah bertujuan meningkatkan kwalitas iman, islam, dan ihsan.[1]
Menurut
Abdul Munir Mulkhan,bahwa objek da’wah (mad’u) ada dua sasaran,yaitu umat
da’wah dan umat ijabah. Umat da’wah adalah masyarakat yang non muslim sedangkan
umat ijabah adalah mereka yang sudah menganut Agama islam.Kepada manusia yang
belum beragama islam,da’wah bertujuan untuk mengajak mereka untuk mengikuti
agama islam.Sedangkan bagi mereka yang telah beragama islam,da’wah bertujuan
meningkatkan kualitas keimanan.[2]
B.
Mad’u
Sebagai Sentral Da’wah
Objek
da’wah (mad’u) adalah merupakan sasaran da’wah.yang tertuju pada masyarakat luas,
mulai dari diri sendiri, keluarga, kelompok, baik yang menganut islam maupun
tidak. salah satu sasaran utama yang hendak dicapai melalui da’wah adalah
pemberdayaan masyarakat menuju suatu komunitas atau masyarakat yang khaira ummah, the best ummah. Bukan hanya
dari aspek-aspek keimanan dan ibadah semata, melainkan dari aspek-aspek sosial seperti
pendidikan. untuk memosisikan mad’u sebagai sentral da’wah,perlu memperhatikan
tiga hal:
1. Da’wah
harus memperhatikan kapasitas pemikiran (tingkat intelektual) suatu masyarakat.
Tingkat pemahaman suatu kelompok
masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lainnya pasti berbeda.Perbedaan
pemahaman ditentukan banyak variabel,diantaranya tingkat kemajuan budaya dan
peradaban masyarakat yang bersangkutan.masyarakat yang masih sederhana dan
bersahaja memiliki kecenderungan memahami dengan mudah dan apa adanya.Sedangkan
masyarakat yang memiliki intelektual lebih tinggi cenderung memahami agama
secara lebih kompleks.
2. Da’wah
harus memperhatikan kondisi kejiwaan (psikologis) mad’u.
Dipandang dari sudut suasana
kejiwaannya,setiap masyarakat memiliki suasana kejiwaan masing-masing,maka
da’wah yang manusiawi dan sekaligus komunikatif adalah da’wah yang dapat
memahami perbedaan psikologis setiap masyarakat dan mencarikan jalan keluar
yang tepat dan sesuai dengan suasana kebatinan mereka.maka dalam pemilihan dan
penyesuaian materi da’wah menjadi hal yang penting yang harus diperhatikan.
3. Da’wah
harus memperhatikan problematika kekinian yang harus dihadapi oleh suatu
masyarakat.
Risalah islam diturunkan dengan
kepentingan merespon masalah-masalah umat manusia dan membantu mencarikan jalan
keluar dengan mengarahkan manusia melalui bimbingan agar lebih berpihak pada nilai-nilai
moral dan ketuhanan.[3] Dalam
pelaksanaannya da’wah harus bersifat komunikatif dan interaktif. Komunikatif
berarti bahwa da’wah harus memahami dan merespons setiap problematika umat.Sedangkan
interaktif berarti dakwah harus mampu berdialog dengan berbagai pihak dan
kelompok dalam rangka mencari solusi dan memecahkan masalah yang dihadapi oleh
umat.Dengan demikian da’wah dituntut untuk selalu inovatif dan kreatif dalam
menajawab tantangan zaman dan perubahan sosial.
C.
Hak-Hak
Mad’u
Islam
itu condong kepada prinsip humanism. Jika logika ini ditarik lebih jauh
kemudian dikaitkan dengan hak mad’u,maka ia adalah tidak laib dari hak-hak
manusia..persoalan ini dapat ditinjau dari dua aspek,yaitu hak hubungan social
antar pribadi (interpersonal relationship
right),dan hak hubungan antar keterkaitan komunikasi (communication interconnecting
right).Hak manusia dalam tujuan pertama,menekankan kecakapan kualitas
pribadi seseorang dalam membangun pola hubungan antar personal yang nyaman (comfortable), dan penuh keakraban (friendliness). Adapun hak dalam tinjauan
aspek yang kedua,menekankan pola hubungan ketergantungan dan saling respons
serta saling pengertian.Hubungan sehat antarpersonal,juga ditentukan oleh
sejauh mana masing-masing pihak mampu menciptakan situasi pergulan yang akrab
dan hangat.Hal demikian ini terbilang amat perlu karena pertimbangan beberapa
hal:
·
Secara psikologis orang hanya akan mau
membuka diri kepada orang yang benar-benar ia kenal dan tahu latar belakangnya.
·
Ketiadaan jarak antar hubungan
memugkinkan tumbuhnya selera untuk menjalin keakraban dan kedekatan dalam
pergaulan.
·
Keakraban dan kedekatan,lahir dari sikap
empatis dan simpatik dari seseorang kepada orang lain.
Keakraban
dan kedekatan pergaulan juga dapat diwujudkan melalui hubungan yang baik antara
da’I dengan mad’u.Dalam hal itu,da’I sebagai pihak yang lebih aktif,da’I harus
mengerti bah wa mad’u memiliki hak
untuk didekati dan dibimbing untuk kemudian dirubah menjadi lebih baik lagi.[4]
D.
Klasifikasi
Mad’u
Setelah
pemaparan bahwa setiap manusia tanpa terkecuali adalah mad’u,yaitu pihak yang diseru ke jalan Allahm, maka perbincangan
mengenai klasifikasi mad’u menjadi
tidak lepas dari pengklasifikasian manusia dalam keterkaitannya dengan da’wah.
1. Menurut
Abdul Karim Zaidan klasifikasi mad’u menurut siakpnya terhadap dakwah dibagi
mnejadi empat yaitu :
a) Al-mala’
(penguasa)
Al-mala’ adalah kaum
eksekutif masyarakat yang memiliki pengaruh besar hal demikian karna kemampuan
mereka untuk mengakomodasi masa dan pengaruhnya dalam membentuk opini-opini
public.
b) Jumhur
An-nas (mayoritas masyarakat)
Menurut Abdul Karim
Zaidan, jumhur an-nas adalah orang yang paling tanggap menerima seruan dan
ajakan dakwah. Hal demikian, kiranya dapat ditinjau dari dua perspektif
historis dan psikologis.
Di tinjau dari
perspektif historis, mayoritas manusia yang merupakan kaum lemah secara faktual
adalah mereka yang paling simpatik dan cepat menerima seruan dakwahpara rasul.
Hal ini banyak tersurat dalam al-qur’an maupun sirah nabi. Adapun dari
perspektif psikologis mayoritas manusia yang merupakan kaum yang lemah adalah
mereka yang selalu melawan penindasan kaum penguasa. Dalam kondisi ini, mereka
senantiasa mendambakan tampilnya sosok yang berani bersama-sama memperjuangkan
nasib mereka. Dan para rasul dan dakwahnya membawa ajaran kebebasan.
c) Al-munafiqun
Adalah oranag-orang
yang menentang dakwah namun tidak terlihat.
d) pelaku
maksiat
adalah mereka yang
secara batin masih memiliki pijakan yang kuat dalam agama, namun secara
behavioral menunjukan indikasi yang sebaliknya.
2. Pengelompokan
mad’u berdasarkan antusiasnya kepada dakwah dibagi menjadi tiga kelompok :
a) As-sabiquna bil akhirat (yang
bersegera dalam menerima kebenaran)
Adalah golongan mad’u yang cenderung antusias kepada
kebaikan dan tanggap terhadap seru-seruan dakwah baik yang sunnah apalagi yang
wajib.
b) Muqthasid (kelompok
pertengahan)
Adalah mereka yang
mengerjakan kewajiban-kewajiban agama dan meninggalkan yang diharamkan, namun
pada waktu yang bersamaan mereka kerap kali melakukan hal-hal yang di makruhkan
dan kurang tanggap terhadap kebaikan yang dianjurkan.
c) Zalim linafsih (kelompok
yang menzalimi diri sendiri)
Adalah kelompok yang
senang melampaui batasan-batasan agama, cenderung mengabaikan kewajiban dan
kerap melakukan larangan-larangan dalam agama.
3. Kategori
mad’u menurut keyakinannya
Dakwah diakui sebagai ajakan universal, artinya
ajakan dakwah tidak dibatasi hanya kepada kelompok tertentu dan tidak yang
lainnya. Terkait dengan aneka ragam keyakinan manusia dimuka bumi ini, dakwah
juga memiliki kepentingan untuk menarik orang ke jalan tuhan. Adapun kategori
menurut keyakinannya dibagi menjadi dua macam, yakni muslim dan non-muslim.
4. Pengelompokan
mad’u berdasarkan kemepuannya menangkap dakwah
Dalam kategori ini, mad’u dikelompokan secara
hierarkis dimulai dari kelompok elit hingga level bawah, karena kemampuan
seseorang untuk menangkap pesan dakwah terkait erat dengan kedalamannya
memahami agama dan hakikatnya. Ada tiga kelompok
dalam hal ini.
Pertama, adalah mereka yang dalam
menangkap pesan dakwah didekati dengan mengajukan bukti-bukti demonstrative
yang tak terbantahkan.
Kedua, adalah
kelompok mad’u menengah terkait tingkat pemahaman agamanya, dalam menerima
pesan dakwah mereka belum mampu menyikap hakikat-hakikat terdalam agama, dan
baru cukup didekati dengan dialog melalui adu argumentasi.
Ketiga, kelompok
ahlul kitab, adalah kelompok terbanyak dalam masyarakat, karena tingkat
pemahaman agamanya yang rendah. Kelompok mad’u ini tidak tertarik kepada
pendekatan-pendekatan dialektis dan belum mampu memahami hakikat terdalam
agama. Untuk itu, cara retorik melalui tutur kata dan nasihat yang baik dalam
menyampaikan pesan dakwah dipandang sebagai jalan yang paling baik.
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam
Al-Qur’an, keharusan menjadikan mad’u sebagai sentral dakwah diisyaratkan
sebagai suatu strategi pesan-pesan agama. Gaagsan dakwah menempatkan mad’u sebagai sentral, menghendaki
strategi dakwah yang empatik, simpatik dan humanistis.
Islam condong kepada prinsip
humanism (bahwa hak yang utama terkait dengan dakwah adalah hak-hak asasi
manusia pada umumnya), universal dan fleksibel. Dalam perspektif dakwah,
pengakuan hak asasi ini memberikan kebebasan kepada mad’u untuk menerima atau menolak dakwah.
Didalam setiap masyarakat memiliki
suasana kejiwaan amsing-masing, maka dakwah yang manusiawi dan sekaligus komunikatif
adalah dakwah yang dapat memahami perbedaan psikologis setiap ummat dan
mencarikan jalan keluar yang tepat dan sesuai dengan suasana kebatinan mereka
dalam dimensi ruang dan waktu. Dalam pengklasifikasiannya, mad’u dibagi menjadi bermacam-macam jenis yang dilihat dari
berbagai segi..
Saran
Apabila terdapat
kekurangan dalam pembuatan makalah ini saya mengharapkan kritik dan sarannya
guna menjadi intropeksi diri saya kedepannya agar menjadi lebih baik lagi.
DAFTAR
PUSTAKA
-
Yusuf, Yunan. metode Dakwah. 2006. Kencana: Jakarta
-
Ismail, Ilyas, Prio Hotman. Filsafat Dakwah Rekayasa Membangun Agama Dan
Peradaban Islam. 2011. Kencana Prenada Media Group: Jakarta
-
Rakhmat, Jalaluddin. Islam Aktual. 2000. Mizan: Bandung
[1]
Manajemen Dakwah, M. Munir dan Wahyu Ialihi. Hal. 23
[2]
Filsafat dakwah rekayasa mambangun agama dan peradaban islam, Dr. A. Ilyas
Isma’il dan Prio Hotman. Hal. 155
[3] Islam
Aktual, Jalaludin Rahmat. Hal. 228
[4]
Filsafat dakwah rekayasa mambangun agama dan peradaban islam, Dr. A. Ilyas
Isma’il dan Prio Hotman.
semoga bermanfaat :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar